Format dokumen Office Open XML (OOXML) yang dibesut Microsoft sedang diupayakan menjadi standar internasional yang diakui Organisasi Standardisasi Internasional (ISO). Dalam pemungutan suara belum lama ini, Indonesia yang diwakili oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) memilih untuk tidak memilih.
Keputusan tersebut diambil setelah Mirror Committee yang memberi masukan kepada BSN tidak bisa mencapai kata sepakat. Iman Sudarwo, Ketua BSN, mengatakan keputusan itu adalah yang paling tepat untuk saat ini.
"BSN tidak bisa bilang lain kalau vote-nya begitu (tidak bersikap-red). Pertama, karena BSN tidak terlalu paham (soal teknologi informasi-red). Kedua, BSN tidak mewakili kepentingan tertentu. Sehingga tugas BSN bukan menentukan sikap, tetapi kita hanya memfasilitasi (para pemangku kepentingan)," papar Iman kepada detikINET, Selasa (11/9/2007).
Lebih lanjut, Iman mengatakan, tidak memilih bukan berarti Indonesia tidak bersuara di kancah internasional. "Abstain pun itu suara, yaitu netral. Kalau tidak ikut, yang artinya tidak menggunakan hak suara, itu yang rapornya tidak baik," ia menambahkan.
Menurut Iman, lembaga yang dipimpinnya itu harus selalu berusaha netral demi menjaga kepercayaan masyarakat dan kalangan pengguna. "Sekali BSN memaksakan, orang nggak akan percaya lagi. Itu lebih jelek daripada gagal vote, karena akan banyak vote untuk hal yang lain lagi," ia menjelaskan.
Mirror Committee
Mirror Committee, ujar Iman, dibentuk agar BSN bisa menentukan pilihannya dalam standar yang terkait teknologi informasi. BSN mengundang banyak pihak untuk menjadi anggota komite tersebut, mulai dari pihak swasta, pemerintahan (Kementerian Riset dan Teknologi serta Departemen Komunikasi dan Informatika), hingga pihak asosiasi dan akademisi.
Adapun ketika membahas tentang standarisasi Open Office XML sejumlah perwakilan yang turut hadir berdiskusi diantaranya dari Universitas Indonesia, PT Intellysis Tripratama, Microsoft Indonesia , Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Telematika, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), IBM Indonesia, Oracle Indonesia, SUN Indonesia, Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) dan BSN sendiri selaku tuan rumah.
Ketika Mirror Committee terbentuk, ditunjuk selaku Ketua adalah dari Microsoft Indonesia. Ini pun kemudian menimbulkan sejumlah polemik di berbagai diskusi mailing-list. Mengenai hal tersebut, Iman memiliki penjelasan. "Benar, ketua komite adalah dari Microsoft. Tetapi ketua itu dipilih oleh anggota komite, bukan ditentukan oleh BSN," tegasnya.
Ditambahkan olehnya, posisi ketua tersebut sebenarnya telah ditawarkan ke pihak lain yang turut berdiskusi kala itu. "Kita sudah tawarkan ke banyak pihak, termasuk ke Aspiluki (Asosiasi Piranti Lunak Indonesia-red.). Kalau mereka tidak menjawab atau tidak mau, lantas bagaimana? Akhirnya deadlock," papar Iman. Yang kemudian akhirnya pihak Microsoft Indonesia diserahi tanggungjawab sebagai ketua komite tersebut, yang kemudian disepakati tanpa ada keberatan dari pihak yang turut berdiskusi.
Keberadaan Mirror Committee tersebut, menurut tugas yang dibebankan, adalah tidak sekedar membahas standarisasi Office Open XML saja. Sejumlah standarisasi bidang teknologi informasi, dari perangkat keras semisal integrated circuit hingga piranti lunak semisal MPEG Video Coding akan menjadi tanggung-jawab komite untuk memberikan pendapat kepada BSN sebelum melakukan vote.
"Waktu bikin Mirror Committee, tidak ada niatan untuk secara spesifik hanya membahas ooxml saja. Komite tersebut adalah untuk seterusnya membantu BSN, dan keanggotaannya bersifat ad-hoc (tidak tetap-red.)," ujar Iman menjelaskan.
Kepentingan
Pun, walau sudah dibantu oleh Mirror Committee, tugas Ketua BSN untuk melakukan vote tidaklah mulus begitu saja. "Jangan dikira BSN tidak mendapatkan tekanan," tegas Iman tanpa mau menjabarkan lebih lanjut tekanan yang dimaksud olehnya.
Untuk menjunjung tinggi integritas BSN, Iman pun berupaya keras agar seminim mungkin ada pihak yang mendominasi keputusan BSN. "Meskipun demikian, jangan sampai seolah-olah dalam membuat standar itu tidak ada kepentingan. Padahal, kepentingan harus tetap ada. Normal saja jika para pihak berupaya untuk saling meyakinkan dan membawa kepentingan masing-masing," ujar Iman.
"Yang penting, mekanismen terakhirnya adalah konsensus. Kalau tidak bisa musyawarah, ya melalui voting. BSN yang kemudian bertugas menyalurkan hasil konsensus, musyawarah atau voting anggota komite tersebut (melalui vote ke internasional)," ujar Iman.
Iman pun berpesan, "saya juga tidak tahu persaingan (antar pemangku kepentingan teknologi informasi) seperti apa. Yang perlu diperhatikan adalah, dengan adanya suatu standar, apa keuntungannya bagi kita," tandas Iman.
Sumber : DetikInet
Keputusan tersebut diambil setelah Mirror Committee yang memberi masukan kepada BSN tidak bisa mencapai kata sepakat. Iman Sudarwo, Ketua BSN, mengatakan keputusan itu adalah yang paling tepat untuk saat ini.
"BSN tidak bisa bilang lain kalau vote-nya begitu (tidak bersikap-red). Pertama, karena BSN tidak terlalu paham (soal teknologi informasi-red). Kedua, BSN tidak mewakili kepentingan tertentu. Sehingga tugas BSN bukan menentukan sikap, tetapi kita hanya memfasilitasi (para pemangku kepentingan)," papar Iman kepada detikINET, Selasa (11/9/2007).
Lebih lanjut, Iman mengatakan, tidak memilih bukan berarti Indonesia tidak bersuara di kancah internasional. "Abstain pun itu suara, yaitu netral. Kalau tidak ikut, yang artinya tidak menggunakan hak suara, itu yang rapornya tidak baik," ia menambahkan.
Menurut Iman, lembaga yang dipimpinnya itu harus selalu berusaha netral demi menjaga kepercayaan masyarakat dan kalangan pengguna. "Sekali BSN memaksakan, orang nggak akan percaya lagi. Itu lebih jelek daripada gagal vote, karena akan banyak vote untuk hal yang lain lagi," ia menjelaskan.
Mirror Committee
Mirror Committee, ujar Iman, dibentuk agar BSN bisa menentukan pilihannya dalam standar yang terkait teknologi informasi. BSN mengundang banyak pihak untuk menjadi anggota komite tersebut, mulai dari pihak swasta, pemerintahan (Kementerian Riset dan Teknologi serta Departemen Komunikasi dan Informatika), hingga pihak asosiasi dan akademisi.
Adapun ketika membahas tentang standarisasi Open Office XML sejumlah perwakilan yang turut hadir berdiskusi diantaranya dari Universitas Indonesia, PT Intellysis Tripratama, Microsoft Indonesia , Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Telematika, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), IBM Indonesia, Oracle Indonesia, SUN Indonesia, Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) dan BSN sendiri selaku tuan rumah.
Ketika Mirror Committee terbentuk, ditunjuk selaku Ketua adalah dari Microsoft Indonesia. Ini pun kemudian menimbulkan sejumlah polemik di berbagai diskusi mailing-list. Mengenai hal tersebut, Iman memiliki penjelasan. "Benar, ketua komite adalah dari Microsoft. Tetapi ketua itu dipilih oleh anggota komite, bukan ditentukan oleh BSN," tegasnya.
Ditambahkan olehnya, posisi ketua tersebut sebenarnya telah ditawarkan ke pihak lain yang turut berdiskusi kala itu. "Kita sudah tawarkan ke banyak pihak, termasuk ke Aspiluki (Asosiasi Piranti Lunak Indonesia-red.). Kalau mereka tidak menjawab atau tidak mau, lantas bagaimana? Akhirnya deadlock," papar Iman. Yang kemudian akhirnya pihak Microsoft Indonesia diserahi tanggungjawab sebagai ketua komite tersebut, yang kemudian disepakati tanpa ada keberatan dari pihak yang turut berdiskusi.
Keberadaan Mirror Committee tersebut, menurut tugas yang dibebankan, adalah tidak sekedar membahas standarisasi Office Open XML saja. Sejumlah standarisasi bidang teknologi informasi, dari perangkat keras semisal integrated circuit hingga piranti lunak semisal MPEG Video Coding akan menjadi tanggung-jawab komite untuk memberikan pendapat kepada BSN sebelum melakukan vote.
"Waktu bikin Mirror Committee, tidak ada niatan untuk secara spesifik hanya membahas ooxml saja. Komite tersebut adalah untuk seterusnya membantu BSN, dan keanggotaannya bersifat ad-hoc (tidak tetap-red.)," ujar Iman menjelaskan.
Kepentingan
Pun, walau sudah dibantu oleh Mirror Committee, tugas Ketua BSN untuk melakukan vote tidaklah mulus begitu saja. "Jangan dikira BSN tidak mendapatkan tekanan," tegas Iman tanpa mau menjabarkan lebih lanjut tekanan yang dimaksud olehnya.
Untuk menjunjung tinggi integritas BSN, Iman pun berupaya keras agar seminim mungkin ada pihak yang mendominasi keputusan BSN. "Meskipun demikian, jangan sampai seolah-olah dalam membuat standar itu tidak ada kepentingan. Padahal, kepentingan harus tetap ada. Normal saja jika para pihak berupaya untuk saling meyakinkan dan membawa kepentingan masing-masing," ujar Iman.
"Yang penting, mekanismen terakhirnya adalah konsensus. Kalau tidak bisa musyawarah, ya melalui voting. BSN yang kemudian bertugas menyalurkan hasil konsensus, musyawarah atau voting anggota komite tersebut (melalui vote ke internasional)," ujar Iman.
Iman pun berpesan, "saya juga tidak tahu persaingan (antar pemangku kepentingan teknologi informasi) seperti apa. Yang perlu diperhatikan adalah, dengan adanya suatu standar, apa keuntungannya bagi kita," tandas Iman.
Sumber : DetikInet
I want not acquiesce in on it. I regard as precise post. Especially the title attracted me to read the unscathed story.
ReplyDeleteAmiable brief and this mail helped me alot in my college assignement. Say thank you you on your information.
ReplyDelete